Asuransi Syariah
- LATAR BELAKANG
Selain perbankan syariah, juga muncul pertanyaan, bagaimana dengan
asuransi? Warga masyarakat Islam saat ini membutuhkan asuransi untuk
melindungi harta dan keluarga mereka dari akibat musibah. Sebuah
keluarga hanya mengandalkan pemasukkan dari kepala keluarga, tentu
akan sangat terganggu kondisi keuangannya bila terjadi suatu musibah
yang menimpanya. Anak dan istri yang ditinggalkan belum tentu dapat
memenuhi sendiri kebutuhan hidupnya; sementara lembaga amil zakat
belum bisa secara optimal dan menyeluruh berperan sebagai salah satu
solusi untuk mengatasi masalahnya. Selain risiko musibah terhadap
jiwa, asuransi juga dibutuhkan oleh sektor usaha. Usaha yang sudah
maju dan menguntungkan mungkin bisa bangkrut dalam seketika bila
terjadi kebakaran melanda tempat usahanya. Karena itu, keluarga yang
telantar ditinggal oleh pemberi nafkah, dan usaha yang bangkrut
karena kebakaran sebenarnya tak perlu terjadi kalau ada perlindungan
dari asuransi. Asuransi memang tidak dapat mencegah musibah, tetapi
setidaknya dapat menanggulangi akibat keuangan yang terjadi. Karena
itu, bagaimana warga menggunakan asuransi kalau ternyata produk
asuransi ada yang mengandung unsur ketidakhalalan? Masalah dimaksud
dapat diatasi melalui asuransi syariah atau asuransi konvensional
yang membuka cabang khusus syariah.
Sejak tahun 1994, industri perasuransian mulai dimasuki oleh asuransi
syariah yang ditandai dengan berdirinya salah satu perusahaan
asuransi syariah, yaitu Asuransi Syariah Takaful. Meskipun pada
awalnya pendirian perusahaan asuransi syariah ini menjadi kontradiksi
pendapat tentang kehalalan atas usaha tersebut, yaitu di satu pihak
ada kalangan orang Islam beranggapan bahwa asuransi sama dengan
menentang qadha dan qadar atau bertentangan dengan
takdir. Mereka beranggapan bahwa kecelakaan, kemalangan, dan kematian
merupakan takdir Allah dan merupakan hal yang tidak dapat ditolak.
Namun, di pihak yang lain bagi sebagian umat Islam beranggapan bahwa
setiap manusia juga diperintahkan membuat perencanaan untuk
menghadapi masa depan.
Permasalahan asuransi tidak berhenti hanya pada transaksinya,
melainkan juga pada investasinya. Sebagian besar asuransi yang dibeli
oleh warga masyarakat justru asuransi yang mengandung investasi
(asuransi dwiguna). Selama ini, asuransi konvensional menginvetasikan
dana yang didapatnya tanpa mempertimbangkan lagi faktor halal dan
haram. Hal itu, menjadikan uang hasil investasi yang diterima oleh
nasabah juga menjadi tidak terjaga kehalalannya. Hal ini juga yang
menjadi salah satu perbedaan lagi dari asuransi syariah. Investasi
pada asuransi syariah diawasi oleh dewan pengawas syariah yang
memastikan bahwa semua mekanisme asuransi dan alokasi investasinya
tidak bertentangan dengan hukum syariah.
- RUMUSAN MASALAH
Dengan melihat latar belakang tersebut penulis akan menjelaskan
hal-hal yang berkaitan dengan asuransi syariah, diantaranya :
- Apa yang di maksud dengan asuransi?
- Bagaimana sejarah perkembangan dan dasar hukum asuransi?
- Bagaimana pendapat ulama mengenai asuransi?
- Apa yang membedakan asuransi syariah dengan konvensional?
- Apa saja konsep dasar / filosofi dari asuransi?
- Apakah berasuransi dapat dikatakan menolak takdir?
- TUJUAN PENULISAN
- Untuk mengetahui apa yang di maksud dengan asuransi.
- Untuk mengetahui perkembangan dan dasar hukum asuransi.
- Untuk mengetahui pendapat ulama mengenai asuransi.
- Untuk mengetahui perbedaan asuransi syariah dengan asuransi konvensional.
- Untuk mengetahui filosofi dari asuransi.
- Untuk mengetahui apakah dengan berasuransi itu berarti telah menolak takdir atau tidak.
- PENGERTIAN ASURANSI
Istilah akuntansi dalam perkembangannya di indonesia berasal dari
bahasa belanda assurantie yang kemudian menjadi “asuransi”
dalam bahasa indonesia. Namun istilah asuransi itu sendiri sebenarnya
bukanlah istilah asli bahasa belanda, akan tetapi berasal dari bahasa
Latin yaitu assecurare yang berarti “meyakinkan orang”.
Dengan demikian pula istilah assuradeur yang berarti
“penanggung” dan geassureede yang berarti “tertanggung”
keduanya berasal dari perbendaharaan bahasa belanda. Sedangkan dalam
bahasa belanda istilah “Pertanggungan” dapat di terjemahkan
menjadi “insurance” dan “assursnce”. Kedua istilah ini
sebenarnya memiliki pengertian yang berbeda, insurance
mengandung arti menanggung segala sesuatu yang mungkin terjadi.
Sedangkan assurance berarti menanggung segala sesuatu yang
pasti terjadi. Istilah assurance lebih lanjut di kaitkan
dengan pertanggungan yang berkaitan dengan masalah jiwa seseorang.
Berikut ini beberapa pendapat mengenai asuransi, yaitu:
- Asuransi dapat pula di artikan sebagai sustu persetujuan dimana, penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung dengan mendapat premi, untuk mengganti kerugian, atau tidak diperolehnya keuntungan yang di harapkan, yang dapat di derita karena peristiwa yang tidak di ketahui dahulu.
- Asuransi atau pertanggungan menurut UU No. 2 Tahun 1992, yaitu : Perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan atau tanggung jawab hukum pihak ke tiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.
Sedangkan asuransi syariah,
setiap peserta sejak awal bermaksud saling menolong dan melindungi
satu dengan yang lain dengan menyisihkan dananya sebagai iuran
kebijakan yang disebut Tabarru’.
Jadi sistem ini tidak menggunakan pengalihan resiko dimana
tertanggung harus membayar premi, tetapi lebih merupakan pembagian
resiko dimana peserta saling menanggung. Kemudian akad yang digunakan
dalam asuransi harus selaras dengan hukum Islam, artinya akad yang
dilakukan harus terhindar dari unsur gharar
(penipuan),
maysir
(perjudian),
riba, zhulm
(penganiayaan), risyiwah
(suap), disamping itu investasi dana harus pada objek yang halal
thoyyibah bukan
barang haram dan maksiat.
- SEJARAH PERKEMBANGAN DAN DASAR HUKUM
- Sejarah Perkembangan
Kajian asuransi dalam hukum Islam merupakan hal yang baru, dan belum
pernah ditemukan dalam literatur-literatur fiqh klasik. Pembahasan
asuransi dalam wilayah kajian ilmu-ilmu keislaman baru muncul pada
fase lahirnya ulama kontemporer. Tercatat dalam literatur sederetan
nama yang menekum kajian asuransi diantaranya adalah, Ibnu Abidin
(1784-1836), Muhammad Nejatullah al-Siddiqi, Muhammmad Muslehuddin,
Fazlur Rahman, Mannan, Yusuf al-Qardhawi, Mohd. Ma'shum Billah,
merupakan deretan nama ulama ternama yang hidup di era abad modern.
Di sisi lain, kajian tentang asuransi merupakan sebuah paket dari
kajian ekonomi Islam yang biasanya selalu dikaji bersama-sama dengan
pembahasan perbankan dalam Islam. Jadi, asuransi Islam atau asuransi
syariah merupakan hasil pemikiran ulama kontemporer.
Secara prinsipiil kajian ekonomi Islam selalu mengedepankan asas
keadilan, tolong-menolong, menghindari kezaliman, pengharaman riba
(bunga), prinsip profit and loss sharing serta penghilangan
unsur gharar. Maka dari sini, bisa ditarik garis pararel
terhadap prinsip-prinsip yang harus ada dalam sebuah institusi
asuransi syariah. Sebab, asuransi syariah secara teoritis masih
menginduk kepada ajian ekonomi Islam secara umum. Di samping prinsip
dasar di atas yang harus dipenuhi oleh lembaga asuransi syariah,
asuransi Syariah juga harus mengembangkan
sebuah manajemen asuransi ecara mandiri, terpadu, profesional serta
tidak menyalahi aturan asar yang telah digariskan dalam syariah
Islam. Untuk tujuan mejaga agar selalu sesuai dengan syari'at
Islam maka pada setiap asuransi harus ada Dewan Pengawas Syariah
(DPS).
Di sinilah ulama kontemporer bermain dalam menggali dan menyusun
sebuah kinerja dan manajemen asuransi syariah. Mengutip
pernyataan Nejatullah al-Siddiqi, bahwa asuransi syariah harus
membawa unsur tolong-menolong, seperti apa yang terjadi di awal
sejarah asuransi yang menjadikan prinsip tolong-menolong sebagai
unsur utama di dalamnya. Dari sini, asuransi syariah mengemban tugas
agar melakukan pembersihan unsur-unsur yang tidak sesuai dengan
syariah terhadap praktik yang dijalankan oleh asuransi konvensional.
Nilai-nilai seperti materialistis, individualistis, kapitalis, harus
dihapuskan, sebagai gantinya dimasukkan semangat keadilan, kerja
sama, dan saling tolong-menolong.
Lebih jauh, Muhammad Ma'shum Billah mengajukan sebuah konsep yang
diberi nama dengan takaful. Sebuah konsep asuransi syariah
yang di dalamnya dilakukan kerja sama dengan para peserta takaful
(pemegang polis asuransi) atas prinsip al-Mudharabah.
Perusahaan asuransi syariah bertindak sebagai al-mudharib yang
menerima uang pembayaran dari peserta takaful untuk
diadministrasikan dan diinvestasikan sesuai dengan ketentuan syariah.
Peserta takaful bertindak sebagai shahib al-mal
yang akan mendapat manfaat jasa perlindungan serta bagi hasil dari
keuntungan perusahaan asuransi syariah. Konsep takaful pada
dasarnya merupakan usaha kerja sama saling melindungi dan menolong
antara anggota masyarakat dalam menghadapi malapetaka atau bencana.
Secara kelembagaan, perkembangan asuransi syariah global ditandai
dengan kehadiran perusahaan asuransi syariah di berbagai belahan
dunia, antara lain Sudanese Islamic Insurance (1979), Islamic
Arab Insurance Co. (1979), Dar Al-Maal Al-Islami, Geneva (1981),
Islamic Takafol Company (I.TC), S.A. Luxembourg (1985) Islamic
takafol and Re-Takafol Company, Bahamas (1983), Syarikal Al-Takafol
Al-Islamiah bahrain, E.C. (1983), Takaful Malaysia (1985).
Sedangkan di Indonesia, asuransi syariah merupakan sebuah cita-cita
yang telah dibangun sejak lama, dan telah menjadi sebuah lembaga
asuransi modern yang siap melayani umat Islam Indonesia dan bersaing
dengan lembaga asuransi konvensional. Dalam asuransi syariah
terdapat dua jenis perlindungan takaful. Pertama, takaful
keluarga, yaitu bentuk takaful yang memberikan perlindungan
finansial dalam menghadapi malapetaka kematian dan kecelakaan
atas diri peserta takaful. Adapun produk takaful keluarga meliputi;
takaful berencana, takaful pembiayaan, takaful pendidikan, takaful
dana haji, takaful berjangka, takaful kecelakaan siswa, takaful
kecelakaan diri, dan takaful khairat keluarga. Kedua,
takaful umum, adalah bentuk takaful yang memberikan perlindungan
financial dalam menghadapi bencana atau kecelakaan atas harta
benda milik peserta takaful, seperti rumah, bangunan, dan sebagainya.
Produk takaful umum meliputi; takaful kebakaran, takaful kendaraan
bermotor, takaful pengangkutan laut, dan takaful rekayasa.
Adapun perkembangan asuransi syariah di Indonesia baru ada pada paruh
akhir tahun 1994 yaitu dengan berdirinya Asuransi Takaful
Indonesia pada tanggal 25 Agustus 1994, dengan diresmikannya PT
Asuransi Takaful Keluarga melalui SK Menkeu No. Kep-385/KMK.017/
1994. Pendirian Asuransi Takaful Indonesia diprakarsai oleh Tim
Pembentuk Asuransi Takaful Indonesia (TEPATI) yang dipelopori oleh
ICMI melalui Yayasan Abdi Bangsa, Bank Muamalat Indonesia, Asuransi
Jiwa Tugu Mandiri, Pejabat dari Departemen Keuangan, dan Pengusaha
Muslim Indonesia.
Melalui berbagai seminar nasional dan setelah mengadakan studi
banding dengan Takaful Malaysia, akhirnya berdirilah PT Syarikat
Takaful Indonesia (PT STI) sebagai Holding Company pada tanggal 24
Februari 1994. Kemudian PT STI mendirikan 2 anak perusahaan, yakni PT
Asuransi Takaful Keluarga (Life Insurance) dan PT Asuransi
Takaful Umum (General Insurance). PT Asuransi Takaful Keluarga
diresmikan lebih awal pada tanggal 25 Agustus 1994 oleh Bapak Mar'ie
Muhammad selaku Menteri Keuangan saat itu. Setelah keluarnya
izin operasional perusahaan pada tanggal 4 Agustus 1994.
Setelah itu, beberapa perusahaan asuransi syariah yang lain lahir,
seperti PT asuransi syariah "Mubarakah" (1997) dan
beberapa unit asuransi syariah dari asuransi konvensional
seperti MAA Assurance (2000), Asuransi Great Eastern (2001), Asuransi
Bumi Putra (2003), Asuransi Beringin Jiwa Sejahtera (2003),
Asuransi Tripakarta (2002), Asuransi Jasindo takaful (2003),
Asuransi Binagria (2003), Asuransi Bumida (2003), Asuransi Staci Jasa
Pratama (2004), Asuransi Central Asia (2004), Asuransi Adira
Syariah (2004), Asuransi BNI Jiwasraya Syariah (2004), Asuransi Sinar
Mas (2004), Asuransi Tokio Marine Syariah (2004), dan Reindo Divisi
Syariah (2004). Sampai dengan Mei 2008, sudah hadir 41 perusahaan
asuransi syariah di Indonesia, 3 perusahaan reasuransi syariah dan 6
perusahaan broker asuransi dan reasuransi syariah.
Pertumbuhan yang sama juga terdapat perusahaan asuransi yang dapat
diperlihatkan sepanjang tahun 2004, yaitu mencapai 44%. Peningkatan
ini mengartikan bahwa asuransi syariah di Indonesia memiliki peluang
bisnis yang prospektif dikarenakan seiring dengan potensi yang cukup
besar. Pangsa pasar yang sangat besar dari jumlah penduduknya yang
mayoritas beragama Islam ini, menarik perhatian para investor dari
mancanegara untuk melakukan portofolio investasi terhadap usaha
asuransi syariah. Seperti yang dilakukan oleh perusahaan takaful
yang pertama didirikan di Indonesia, yaitu PT Syarikat Takaful
Indonesia yang telah bertambah modalnya dari Rp16 miliar (saat
didirikan) menjadi 31,5 miliar. Perusahaan
tersebut adalah anak perusahaan dari Malaysia yaitu Syarikat Takaful
Malaysia
- Dasar Hukum
Peraturan perundang-undangan tentang perasuransian di Indonesia
diatur dalam beberapa tempat, antara lain dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Dagang (KURD), UU No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian,
PP No. 63 Tahun 1999 tentang Perubahan atas PP No. 73 Tahun 1992
tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian serta aturan-aturan lain
yang mengatur Asuransi Sosial yang diselenggarakan oleh BUMN Jasa
Raharja (Asuransi Sosial Kecelakaan Penumpang), Astek (Asuransi
Sosial Tenaga Kerja), dan Askes (Asuransi Sosial Pemeliharaan
Kesehatan).
Sedangkan asuransi syariah masih terbatas dan belum diatur secara
khusus dalam undang-undang. Secara lebih teknis operasional
perusahaan asuransi/perusahaan reasuransi berdasarkan prinsip syariah
mengacu kepada SK Dirjen Lembaga Keuangan No. 4499/LK/2000 tentang
Jenis Penilaian dan Pembatasan Investasi, Perusahaan Asuransi dan
Perusahaan Reasuransi dengan Sistem Syariah dan beberapa Keputusan
Menteri Keuangan (KMK), yaitu KMK No. 422/KMK.06/2003 tentang
Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Asuransi; KMK No. 424/KMK.06/ 2003
tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan
Reasuransi; dan KMK No. 426/KMK.06/2003 tentang Perizinan Usaha dan
Kelembagaan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi.
Di samping itu, perasuransian syariah di Indonesia juga diatur di
dalam beberapa fatwa DSN-MUI antara lain Fatwa DSN-MUI No.
21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah. Fatwa DSN
MUI No. 51/DSN-MUI/III/2006 tentang Akad Mudharabah Musyarakah
pada Asuransi Syariah, Fatwa DSN MUI No. 52/DSN-MUI/III/2006 tentang
Akad Wakalah Bil Ujrah Pada Asuransi dan Reasuransi Syariah,
Fatwa DSN MUI No.53/DSN-MUI/III/2006 tentang Akad Tabarru'
pada Asuransi dan Reasuransi Syariah.
- PENDAPAT ULAMA MENGENAI ASURANSI
Asuransi merupakan salah satu lembaga keuangan modern yang melakukan
manajemen risiko yang mungkin dihadapi di masa yang akan datang. Hal
ini sangat menarik, mengingat kemungkinan adalah suatu ketidakpastian
(uncertainty). Mengantipasi sesuatu yang masih berupa
kemungkinan bisa jadi bagi sebagian orang sebagai sebuah
tindakan yang sia-sia dan tidak bermanfaat sama sekali, tetapi bagi
yang lain mungkin sebuah tindakan yang sangat efektif untuk
menghindari kerugian yang mungkin ditimbulkannya.
Karena asuransi berbicara tentang sesuatu yang tidak pasti, sebagian
melihat bahwa praktik asuransi tidak dibenarkan dalam Islam karena
mengandung unsur-unsur gharar, maysir, dan riba di
dalamnya. Namun sebagian yang lain berpendapat bahwa unsur-unsur
yang haram dalam asuransi bisa dihilangkan sehingga praktik asuransi
dapat diterima oleh Islam. Oleh karenanya, praktik asuransi
modern mendapat sambutan yang beragam di kalangan para ulama.
Sebagian ulama ada yang menolak perjanjian asuransi dengan
alasan-alasan tertentu, sebagian yang lain menerimanya dengan
argumentasi tertentu pula.
Perbedaan pendapat mengenai asuransi
Para ulama di zaman dahulu berbeda pendapat dalam menentukan
keabsahan hukum asuransi. Secara garis besar, perbedaan pendapat
terhadap masalah ini dapat diklasifikasi menjadi 2 (dua) kelompok,
yaitu
- Ulama yang mengharamkan asuransi;
- Ulama yang membolehkan asuransi.
Kedua kelompok dimaksud, masing-masing mempunyai dasar hukum dan
memberikan alasan-alasan hukum sebagai penguat terhadap argumen atau
pendapat yang disampaikannya. Di samping itu, ada yang berpendapat
membolehkan asuransi yang bersifat sosial (ijtima'i) dan
mengharamkan asuransi yang bersifat komersial (tijari) serta
ada pula yang meragukannya (syubhat).
- Ulama yang Mengharamkan Asuransi
Pengklasifikasian penulis terhadap kedua kelompok dimaksud, hanya
untuk menggambarkan secara tegas mengenai pendapat ulama yang
mengharamkan asuransi dan ulama yang membolehkan asuransi. Hal
tersebut, menurut Masjfuk Zuhdi di antara ulama yang mengharamkan
asuransi adalah Sayid Sabiq, Abdullah Al-Qalqi1i (Mufti Yordan),
Muhammad Yusuf Qardhawi, Mandi Hasan (Mufti Deoband Saharanpur
India), Mahmud Ali (Mufti Al-'Ulum Cawnpur India). Alasan utama
pengharaman asuransi menurut Masjfuk, yaitu premi-premi yang telah
dibayarkan oleh para pemegang polis diputar dalam praktik riba.
Pengharaman asuransi menurut Warkum Sumitro berdasarkan pada 6 (enam)
alasan, sebagai berikut:
- Asuransi mengandung unsur perjudian yang dilarang dalam Islam.
- Asuransi mengandung unsur riba yang dilarang dalam Islam.
- Asuransi termasuk jual beli atau tukar-menukar mata uang tidak secara tunai.
- Asuransi objek bisnisnya digantungkan pada hidup matinya seseorang, yang berarti mendahului takdir Allah SWT.
- Asuransi mengandung eksploitasi yang bersifat menekan.
Selain itu juga Mandi Hasan melarang praktik asuransi dengan
mengemukakan alasan berikut:
- Asuransi tak lain adalah riba berdasarkan kenyataan bahwa tidak ada kesetaraan antara dua pihak yang terlibat, padahal kesetaraan demikian wajib adanya.
- Asuransi juga adalah perjudian, karena ada penggantungan kepemilikan pada munculnya risiko.
- Asuransi adalah pertolongan dalam dosa, karena perusahaan asuransi, meskipun milik negara, toh merupakan institusi yang mengadakan transaksi dengan riba.
- Dalam asuransi jiwa juga ada unsur penyuapan (risywah), karena kompensasi di dalamnya adalah sesuatu yang tidak dapat dinilai.
- Ulama yang Membolehkan Asuransi
Para ulama yang membolehkan praktik asuransi diwakili oleh beberapa
ulama, di antaranya adalah Ibnu Abidin, Abdul Wahab Khalaf, Mustafa
Ahmad Zarqa (Guru Besar Hukum Islam pada Fakultas Syari'ah
Universitas Syiria), Muhammad Yusuf Musa (Guru Besar Hukum Islam pada
Universitas Cairo Mesir), Syaikh Ahmad Asy-Syarbasyi (Direktur
Asosiasi Pemuda Islam), Syaikh Muhammad Al-Madani (Dekan di
Universitas Al-Azhar), Syaikh Muhammad Abu Zahrah, dan Abdurrahman
Isa. Argumentasi yang mereka pakai dalam membolehkan asuransi menurut
Fathurrahman Djamil adalah sebagai berikut:
- Tidak terdapat nash Alquran atau hadis yang melarang asuransi.
- Dalam asuransi terdapat kesepakatan dan kerelaan antara kedua belah pihak.
- Asuransi menguntungkan kedua belah pihak.
- Asuransi mengandung kepentingan umum, sebab premi-premi yang terkumpul dapat diinvestasikan dalam kegiatan pembangunan.
- Asuransi termasuk akad mudharabah antara pemegang polis dengan perusahaan asuransi.
- Asuransi termasuk syirkah at-ta'awuniyah, usaha bersama yang didasarkan pada prinsip tolong-menolong.
Pengklasifikasian dari kedua kelompok di atas, Abu Zahrah mempunyai
pendapat yang lain. Menurutnya, asuransi yang bersifat sosial
diperbolehkan karena jenis asuransi ini tidak mengandung unsur-unsur
yang dilarang di dalam Islam (alasannya, yaitu sesuai dengan pendapat
ulama yang membolehkan asuransi). Sedangkan asuransi yang bersifat
komersil (tijari) tidak diperbolehkan karena mengandung
unsur-unsur yang dilarang oleh Islam (alasannya sesuai dengan ulama
yang mengharamkan asuransi).
Oleh karenanya, sebagian ulama dapat menerima kehadiran Asuransi
dengan menghilangkan unsur gharar, maysir dan ribanya.
Gharar pada asuransi konvensional timbul dalam dua bentuk
pertama, bentuk akad yang melandasi permulaan polis. Kedua,
sumber dana pembayaran dan keabsahan penerimaan uang klaim itu. Dalam
asuransi konvensional kontrak/perjanjian dapat dikategorikan sebagai
akad tabadduli atau akad pertukaran; yaitu pertukaran
pembayaran premi dengan uang pertanggungan. Secara syariat dalam akad
pertukaran harus jelas berapa yang dibayarkan dan berapa yang
diterima. Keadaan ini akan menjadi rancu (gharar) karena kita
tahu berapa yang akan diterima tetapi tidak tahu berapa yang akan
dibayarkan karena hanya Allah yang tahu kapan seseorang akan
meninggal. Dalam konsep syariat Islam keadaan ini akan lain karena
akad yang dipakai bukanlah akad pertukaran/akad tabadduli
tetapi konsep taawun atau tolong-menolong dan saling menjamin.
Dalam konsep asuransi syariah, semua peserta asuransi menjadi
penolong dan penjamin satu sama lainnya. Sehingga kalau peserta A
meninggal, peserta B, C, Z harus membantunya, demikian
sebaliknya.
Untuk menjawab masalah kedua, dalam konsep asuransi syariah setiap
pembayaran premi sejak awal akan dibagi dua. Bagian pertama masuk ke
rekening pemegang polis, dan satu lagi dimasukkan ke rekening khusus
peserta yang diniatkan tabarru' atau sedekah untuk membantu
saudaranya yang lain. Dengan demikian, dari rekening khusus inilah
klaim peserta diambil dan semua sudah ikhlas memberikannya secara
sedekah.
Sedangkan unsur maysir diartikan dengan adanya salah satu
pihak yang untung, namun di pihak lain justru mengalami kerugian. Hal
ini tampak jelas apabila pemegang polis dengan sebab-sebab tertentu
membatalkan kontraknya sebelum masa reversing period, biasanya
tahun ketiga, maka yang bersangkutan tidak akan menerima kembali uang
yang telah dibayarkan kecuali sebagian kecil saja. Reversing
period di asuransi syariah bermula dari akad, di mana setiap
peserta mempunyai hak untuk mendapatkan cash value dan
mendapatkan semua uang yang telah dibayarkan, kecuali yang sudah
dimasukkan ke dalam rekening khusus (tabarru’) peserta dalam
bentuk sedekah.
Masalah riba dieliminasi dengan cara memasukkan akad mudhabah
dan/atau mudharabah musyarakah dan akad wakalah bil
ujrah dalam pengelolaan dana. Semua teknik operasional baik
penentuan ilmiah tanggungan, investasi, maupun penempatan dana pihak
ketika semua menggunakan instrument akad syariah yang bebas
riba.
Para ulama Indonesia dalam hal ini menerima asuransi berdasarkan
basil Fatwa DSN MUI No: 21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum
Asuransi Syariah. Dalam fatwa ini ditetapkan bahwa Asuransi
Syariah (Ta'min, Takaful, atau Tadhamun) adalah usaha saling
melindungi dan tolong-menolong di antara sejumlah orang/pihak melalui
investasi dalam bentuk aset dan/atau Tabarru' yang memberikan
pola pengembalian untuk menghadapi risiko tertentu melalui akad
(perikatan) yang sesuai dengan syariah. Akad yang sesuai dengan
syariah yang dimaksud adalah yang tidak mengandung gharar
(penipuan), maysir (perjudian), riba, zhulm
(penganiayaan), risywah (suap), barang haram dan maksiat.
- PERBEDAAN ASURANSI KONVENSIONAL DENGAN SYARIAH
Asuransi syariah secara teoritis masih menginduk kepada kajian
ekonomi Islam secara umum. Oleh karena itu, asuransi syariah harus
tunduk kepada aturan-aturan syariah. Inilah yang kemudia membentuk
karakteristik asuransi syariah secara unik dan membdakannya
dengan asuransi konvensional. Beberapa perbedaan asuransi syariah
dengan asuransi konvensional adalah sebagai berikut:
- Asuransi syariah memiliki Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang bertugas mengawasi produk yang dipasarkan dan pengelolaan investasi dananya. Dewan Pengawas Syariah ini tidak ditemukan dalam asuransi konvensional.
- Akad pada asuransi syariah adalah akad Tabarru' (hibah) untuk hubungan sesama peserta di mana pada dasarnya akad dilakukan atas dasar tolong-menolong (taawun). Untuk hubungan antara peserta dengan perusahaan asuransi digunakan akad tijarah (ujrah/fee), mudharabah (bagi hasil), mudharabah mugarakah, wakalah bil ujrah (perwakilan), wadiah (titipan), syirkah (berserikat). Sedangkan asuransi konvensional akad berdasarkan lebih mirip jual-beli (tabadduli).
- Investasi dana pada asuransi syariah berdasarkan bagi hasil (Mudharabah), bersih dari gharar, maysir dan riba. Sedangkan pada asuransi konvensional memakai bunga (riba) sebagai landasan perhitungan investasinya.
- Kepemilikan dana pada asuransi syariah merupakan hak peserta. Perusahaan hanya sebagai pemegang amanah untuk mengelolanya secara syariah. Pada asuransi konvensional, dana yang terkumpul dari nasabah (premi) menjadi milik perusahaan. Sehingga, perusahaan bebas menentukan alokasi investasinya.
- Dalam mekanismenya, asuransi syariah tidak mengenal dana hangus seperti yang terdapat pada asuransi konvensional. Jika pada masa kontrak peserta tidak dapat melanjutkan pembayaran premi dan ingin mengundurkan diri sebelum masa reversing period, maka dana yang dimasukkan dapat diambil kembali, kecuali sebagian dana kecil yang telah diniatkan untuk Tabarru' (dihibahkan).
- Pembayaran klaim pada asuransi syariah diambil dari dana Tabarru' (dana kebajikan) seluruh peserta yang sejak awal telah diikhlaskan bahwa ada penyisihan dana yang akan dipakai sebagai dana tolong-menolong di antara peserta bila terjadi musibah. Sedangkan pada asuransi konvensional pembayaran klaim diambilkan dari rekening dana perusahaan.
- Pembagian keuntungan pada asuransi syariah dibagi antara perusahaan dengan peserta sesuai prinsip bagi hasil dengan proporsi yang telah ditentukan. Sedangkan pada asuransi konvensional seluruh keuntungan menjadi hak milik perusahaan.
- Asuransi syariah menggunakan sistem sharing of risk di mana terjadi proses saling menanggung antara satu peserta dengan peserta lainnya (ta'awun) sedangkan pada asuransi konvensional yang dilakukan adalah transfer of risk, di mana terjadi pengalihan risiko dari tertanggung (klien) kepada penanggung (perusahaan).
- Asuransi syariah menggunakan konsep akuntansi cash basis yang mengakui apa yang telah ada sedangkan asuransi konvensio menggunakan sistem akuntansi accrual basis yang mengakui aset, biaya, kewajiban yang sebenarnya belum ada (padahal belum tentu terealisasikan).
- Asuransi syariah dibebani kewajiban membayar zakat dari keuntungan yang diperoleh sedangkan asuransi konvensional tidak.
- FILOSOFI ASURANSI SYARIAH
Konsep dasar asuransi syariah sesuai yang telah di
uraikan adalah berasaskan takaful,
yaitu perpaduan rasa tanggung jawab dengan persaudaraan di antara
sesama peserta asuransi. Karena itu, semua peserta asuransi sudah
mempunyai suatu niat dalam bentuk persetujuan untuk memberikan
sumbangan keuangan sebagai derma (tabarru)
karena Allah SWT bila ada di antara peserta asuransi tertimpa
musibah, seperti kematian, kecelakaan dalam bentuk tabrakan, dan
bencana lainnya. Filosofi asuransi syariah dimaksud, dikemukakan
dasar hukum yang bersumber dari Alqurqn dan hadist yaitu :
- Saling bertanggung jawab.
- Bekerja sama untuk saling membantu.
- Saling melindungi dari segala kesusahan.
- BERASURANSI BUKAN BERARTI MENOLAK TAKDIR
Berasuransi tidaklah berarti menolak takdir atau menghilangkan
ketawakalan seorang muslim kepada Allah SWT, karena: (a) segala
sesuatunya terjadi setelah berpikir dengan baik, bekerja dengan penuh
kesungguhan, teliti dan cermat, (b) segala sesuatu yang terjadi di
dunia ini, semuanya ditentukan oleh Allah SWT. Sedangkan manusia
hanya diminta oleh Allah SWT untuk berusaha semaksimal mungkin. Hal
tersebut berdasarkan firman Allah dalam QS. At-Taghabun (64) ayat 11:
Tidak ada sesuatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali
dengan izin Allah.
Berdasarkan ayat Alquran di atas, dapat diketahui bahwa pada dasarnya
ajaran Islam mengakui bahwa kecelakaan, musibah, dan kematian
merupakan qadha dan qadar Allah yang tidak dapat
ditolak. Namun manusia diminta oleh Allah SWT untuk membuat
perencanaan hari depan sebagaimana firman-Nya dalam QS. Al-Hasyr (59)
ayat 18: Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada
Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah
diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah,
sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Berdasarkan ayat di atas, muncul ide yang sekaligus melahirkan
aktivitas saling membantu untuk mengantisipasi teradinya musibah di
masa mendatang. Karena itu, solusi yang tampak sebagai prakarsa warga
masyarakat Islam adalah pembentukan asuransi syariah dan saat ini
sudah berkembang pesat. Hal dimaksud, dimulai dengan berdirinya
Asuransi Takaful Indonesia tahun 1994, dan kini ada 14 (empat belas)
perusahaan asuransi syariah. Walaupun asuransi syariah begitu
semarak, belum ada literatur lengkap tentang bisnis yang dapat
menjadi rujukan standar praktisi dan akademisi di bidang asuransi
syariah. Karena itu, yang terjadi selama ini kajian ilmiah yang ada
hanya terdapat di beberapa jurnal atau makalah-makalah seminar
ekonomi syariah. Peredaran terbatas beberapa buku karya penulis
asing, baik dari Timur Tengah maupun non-Timur Tengah masih jauh dari
memadai atau mencukupi.
Kehadiran buku Asuransi Syariah, Life and General, Konsep
dan Sistem Operasional tampaknya dimaksudkan untuk mengisi
kekosongan itu. Apalagi isinya memang berusaha mengkaver semua
seluk-beluk asuransi syariah. Mulai persoalan penipuan (gharar),
maysir (judi), dan riba (bunga) yang dilarang oleh
syariat Islam, hingga ke bentuk pengawasan aspek syariah bisnisnya.
Selain itu, ditemukan uraian mengenai konsep investasi asuransi
syariah dan sistem akuntansi yang dipakai hingga silabus pendidikan
yang mesti ditempuh untuk menjadi seorang ahli asuransi syariah.
Kemasannya dalam bentuk hardcover dengan tebal 778 halaman
lebih, sehingga semakin mengukuhkan kesan buku ini untuk menjadi
panduan dan literatur utama asuransi syariah di Indonesia.
Selain itu, buku dimaksud menguraikan karakteristik syariat Islam
yang menjadi landasan keberadaan asuransi syariah, penulis buku, Ir.
Muhammad Syakir Sula, AAIJ, FIIS, yang ketika itu menjabat Direktur
Pemasaran Asuransi Takaful, mengungkap kembali pro-kontra para ulama
ahli fikih yang sering muncul tentang anggapan sebagian warga
masyarakat yang mengatakan bahwa kegiatan asuransi merupakan satu
bentuk aktivitas untuk melawan takdir. Karena itu, asuransi bukanlah
satu bentuk upaya melawan takdir, melainkan justru sebuah perencanaan
hidup yang sesuai dengan tuntunan Alquran. Adapun kontrak dan
operasional bisnis asuransi bisa dibuat sefleksibel mungkin tanpa
kehilangan ruh syariahnya. Penulis buku itu menyatakan, selain dengan
akad mudharabah dan tijarah yang telah difatwakan oleh
Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia, masih ada akad-akad
tijarah lain yang bisa dilakukan seperti al musyarakah,
al-wakalah, al-wadhi'ah, asy-syirkah,
al-musahamah, dan sebagainya. Tentu harus dikaji lebih lanjut
apakah akad-akad tersebut marketable atau tidak, dengan kata
lain apakah sejalan dengan prinsip-prinsip syariah atau tidak.
KESIMPULAN
SARAN
Kedua bentuk asuransi baik konvensional maupun
syariah mempunyai pengelolaan yang sama,
tidak terlalu kentara perbedaannya. Sebab, secara teknis
prosedur mempunyai kemiripan. Namun, ada satu hal yang mendasari
perbedaan, yaitu perjanjian transaksinya. Pada asuransi konvensional,
nasabah membeli perlindungan atau jaminan dari perusahaan asuransi.
Sedangkan pada asuransi syariah, perjanjiannya adalah para nasabah
mengikat diri dalam suatu komunitas dan saling menanggung jika
terjadi musibah. Perbedaan perjanjian dimaksud, akan menimbulkan
konsekuensi yang berbeda pula. Di antaranya adalah masalah
kepemilikan uang premi. Pada asuransi konvensional yang transaksinya
adalah jual beli maka premi yang sudah dibayarkan sepenuhnya menjadi
milik perusahaan asuransi. Sedangkan asuransi syariah, premi yang
dibayar nasabah tetap menjadi milik nasabah yang diamanahkan
kepada perusahaan asuransi syariah untuk dikelola dan dikembangkan
dananya. Sedangkan perkembangan asuransi syariah
di indonesia di mulai pada tahun 1994, yaitu pada saat berdirinya
asuransi Takaful indonesia. Walaupun banyak asuransi syariah
bermunculan, ada jejak beda pendapat antar ulama, ada ulama yang
mengharamkan asuransi, ada juga ulama yang membolehkan asuransi.
Walaupun ada ulama yang berbeda pendapat mengenai
asuransi, asuransi syariah di dunia maupun di indonesia harus
bekembang lebih baik untuk kesejahteraan umat. Selain itu, dewan
pengawas syariah harus benar- benar mengawasi lembaga keuangan
syariah, termasuk asuransi, agar dana yang di himpun oleh pihak
penanggung benar-benar di investasikan sesuai syariah
atau tidak mengandung unsur riba, gharar,
dan maysir.
DAFTAR
PUSTAKA
Ali,
Zainuddin. 2008. Hukum
Asuransi Syariah. Jakarta: Sinar
Grafika
Soemitra,
Andri. 2009. Bank & Lembaga Keuangan
Syariah. Jakarta: Prenada Media
Wirdyaningsih,
at, al.
2005. Bank dan Asuransi Islam di
Indonesia. Jakarta: Kencana
Prakoso,
Djoko. 2000. Hukum Asuransi Indonesia.
Jakarta: Rineka cipta
Sumitro,
Warkum. 2002. Asas-asas Perbankan Islam
dan Lembaga-lembaga Keuangan Terkait BMT dan Takaful Indonesia.
Jakarta: PT RajaGrafindo Persada
Posting Komentar untuk "Asuransi Syariah"
Silakan berkomentar dengan bijak, tidak mengandung ujaran kebencian, kalimat tidak pantas ataupun pornografi.