Tantangan Muhammadiyah dalam Bidang Sosial Budaya
Tantangan Muhammadiyah dalam Bidang Sosial Budaya
BOODS.ID - Muhammadiyah
sebagai organisasi islam yang bergerak dalam bidang dakwah islam dari
zaman
berdirinya
K.H
Ahmad Dahlan,
Sampai sekarang
ini banyak
memiliki kendala dalam beberapa hal.
Ini
diakibatkan dengan beberapa
dasar muhammadiyah
yang ingin memurnikan agama bedasarkan as-sunnah dan al-
quran.
Salah
satunya tantangan
yang di hadapi adalah dalam
bidang sosial dan budaya.Sisi
kehidupan
dari
masyarakat
indonesia mendorong timbulnya multikulturalisme yang bisa berdampak
pada tantangan besar dalam bidang sosial budaya muhammadiyah.
Derasnya paham
multikulturalisme dan pluralisme di dalam tubuh Muhammadiyah ditandai
dengan kritik tajam yang dilontarkan oleh kalangan internal
Muhammadiyah atas konsep pemurnian agama (purifikasi). Bahkan kritik
itu
telah
berubah menjadi hujatan bahwa gerakan purifikasi dalam Muhammadiyah
telah mengganti
potensi
kultur lokal, tanpa memahami persoalan dan konteks budaya lokal
tersebut jika dikaitkan dengan aqidah, akhlak dari muamalah Islam.
Akibat lanjut dari kegamangan ini adalah kecenderungan warga dan
pimpinan Muhammadiyah yang permitif
terhadap berbagai budaya lokal dan global, tanpa memperdulikan
aspek-aspek munkarat yang terjadi.
Konsistensi
Muhammadiyah dalam bidang Sosial Budaya, harus dijaga dan diperkuat
dengan prinsip pemurnian budaya Islam dari pengaruh TBC dan
kemusyrikan, nilai hedonistik, dan syahwat duniawi. Penguatan
konsistensi dan visi sosial budaya yang bertumpu pada prinsip
purifikasi, tidak mesti dimaknai sebagai pengembangan budaya
monolitik dan anti perbedaan. Perbedaan (al-ikhtilafat wal
khilafiyat) dan kemajemukan-keragaman (al-tanawwi’iyyat) adalah
realitas yang mesti diterima oleh siapapun sebagai bagian dari
sunatullah. Segala potensi budaya baik budaya lokal maupun budaya
global, selama sejalan dan tidak bertentangan dengan prinsip ajaran
Islam (al-ma’rufaat), pasti diterima, bahkan dikukuhkan sebagai
khazanah budaya Islam. Sebaliknya potensi budaya yang bertentangan
bahkan merusak prinsip ajaran Islam (al-munkarat), tidak ada jalan
lain, kecuali membersihkannya. Ini sejalan dengan
prinsip
yang terdapat dalam kalimah syahadat yang diucapkan oleh setiap
muslim dan orang yang akan memeluk Islam. Mau belanja? klik boods.id saja!
Berdasarkan
latar belakang diatas maka dapat kita gambaran dan pandangan akan hadirnya
sebuah kebenaran dalam pemaknaan islam berdasar as-sunah dan
al-quran seperti berikut ini:
1. Bagaimana tantangan yang dihadapi Muhammadiyah dalam bidang sosial budaya?
2. Bagaimana cara dakwah Muhammadiyah dengan cara kultural?
3. Bagaimana Dakwah berbasis budaya lokal, dakwah alternatif untuk membumikan
ajaran islam?
Baca artikel lain yang berkaitan :
Tantangan Muhammadiyah dalam Bidang Pendidikan
Pembahasan
Muhammadiyah sebagai
gerakan Dakwah Islam yang memiliki komitmen untuk pemurnian dan
menjaga kemurnian ajaran Islam, Muhammadiyah memahami bahwa
kebudayaan adalah pemikiran, karya dan penghayatan hidup yang
merupakan refleksi umat Islam atas ajaran agamanya, yang bersumber
pada otentisitas ajaran Islam.
Dengan pandangan
itu, Muhammadiyah memandang bahwa adanya pluralitas budaya
(multikulturalitas) adalah sesuatu kenyataan yang mesti diterima.
Namun, tidak berimplikasi kepada paham pluralisme dan
multikulturalisme, yang memandang semua agama dan semua budaya
manusia adalah benar dan baik umat manusia. Muhammadiyah, sebagaimana
statemen al-Quran memandang bahwa dalam pluralitas budaya atau
multikulturalitas terhadap kategori budaya ma'rufat (segala budaya
yang baik, yang sesuai dengan nilai-nilai Islam) dan budaya munkarat
(segala sesuatu yang jelek, batil dan jahat bagi kehidupan manusia
dan tidak sesuai dengan syariat Islam.
Derasnya paham
multikulturalisme dan pluralisme di dalam tubuh Muhammadiyah ditandai
dengan kritik tajam yang dilontarkan oleh kalangan internal
Muhammadiyah atas konsep pemurnian agama (purifikasi). Bahkan kritik
itu telah berubah menjadi hujatan bahwa gerakan purifikasi dalam
Muhammadiyah telah menggusur potensi kultur lokal, tanpa memahami
persoalan dan konteks budaya lokal tersebut jika dikaitkan dengan
aqidah, akhlak dan muamalah Islam. Akibat lanjut dari kegamangan ini
adalah kecenderungan warga dan pimpinan Muhammadiyah yang permisif
terhadap berbagai budaya lokal dan global, tanpa memperdulikan
aspek-aspek munkarat yang terjadi.
Konsistensi
Muhammadiyah dalam bidang Sosial Budaya, harus dijaga dan diperkuat
dengan prinsip pemurnian budaya Islam dari pengaruh TBC dan
kemusyrikan, nilai hedonistik, dan syahwat duniawi. Penguatan
konsistensi dan visi sosial budaya yang bertumpu pada prinsip
purifikasi, tidak mesti dimaknai sebagai pengembangan budaya
monolitik dan anti perbedaan. Perbedaan (al-ikhtilafat wal
khilafiyat) dan kemajemukan-keragaman (al-tanawwi’iyyat) adalah
realitas yang mesti diterima oleh siapapun sebagai bagian dari
sunatullah. Segala potensi budaya baik budaya lokal maupun budaya
global, selama sejalan dan tidak bertentangan dengan prinsip ajaran
Islam (al-ma’rufaat), pasti diterima, bahkan dikukuhkan sebagai
khazanah budaya Islam. Sebaliknya potensi budaya yang bertentangan
bahkan merusak prinsip ajaran Islam (al-munkarat), tidak ada jalan
lain, kecuali membersihkannya. Ini sejalan prinsip yang terdapat
dalam kalimat
syahadat yang diucapkan oleh setiap muslim dan orang yang akan
memeluk Islam.
Terdapat dua prinsip
yang tegak dengan kokoh dalam kalimah syahadat. Pertama, prinsip
al-nafyu wa al-itsbat (negasi dan afirmasi). Negasi, penolakan
terhadap budaya munkarat dan afirmasi, penegasan untuk budaya
ma’rufat. Kedua, ittiba’ wa mutaba'atur rasul, yakni mengikuti
jejak langkah Rasulullah dalam beragama dan berbudaya. Dengan prinsip
itu, Muhammadiyah akan memiliki daya selektifitas dan daya kreatif
untuk menghasilkan kreasi baru dalam melahirkan kebudayaan alternatif
yang tetap mempertautkan antara otentisitas dan orisinalitas ajaran
Islam dengan perkembangan jaman yang selalu berubah.
Mau belanja? klik boods.id saja!
Sejak tahun 2002
Muhammadiyah kemudian menggagas strategi baru dakwah yang lebih
toleran dan kontekstual yang dikenal dengan istilah Dakwah Kultural.
Latar belakang gagasan ini adalah bahwa dinamika sosial-budaya dan
perkembangan peradaban yang semakin kompleks sehingga diperlukan
piranti ikhtiar atau kreativitas dari masyarakat. Sejalan dengan
tuntutan strategi kebudayaan dan perubahan sosial, konsep dakwah
kultural memuat aplikasi dakwah dalam konteks lokal, ancaman budaya
global, apresiasi seni, tantangan multimedia, dan gerakan jama'ah dan
dakwah jama'ah.
Berbeda dengan
dakwah politik, maka dakwah kultural dalam melakukan transformasi
kehidupan umat Islam tidak menempuh jalur politik (praktis),
melainkan melalui revitalisasi kultural, yakni lebih menekankan
tampilnya Islam sebagai sumber etik dan moral serta landasan kultural
dalam kehidupan berbangsa. Maka pada domain ini, dakwah kultural
dipahami sebagai upaya menanamkan nilai-nilai Islam dalam seluruh
dimensi kehidupan dengan memperhatikan potensi dan kecenderungan
manusia sebagai makhluk budaya secara luas, sehingga terwujud
masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Melalui dakwah kultural,
Muhammadiyah berupaya menghadirkan wajah Islam yang santun dan
bijaksana terhadap budaya lokal. Sebagai sebuah pendekatan, maka
dakwah kultural berupaya memahami keberislaman umat dalam konteks
sosio-antropologis. Sementara sebagai metode, maka dakwah kultural
memanfaatkan kultur lokal sebagai media dakwah.
Dengan demikian
dakwah kultural tidak bermaksud merusak ajaran Islam melalui
persentuhan dengan budaya lokal, namun hanya sebatas medium untuk
menjembatani puritanisme Islam dengan tradisi keagamaan turun temurun
masyarakat Islam. walaupun dakwah kultural menggunakan medium
lokalitas, namun Muhammadiyah tetap berpegang pada prinsip purifikasi
sebagai orientasi keagamaannya. Hanya saja dibutuhkan perubahan
metodologi agar praktek dakwah menjadi lebih apresiatif dan
bersahabat dengan tradisi yang ada. Menurut Mu'arif perubahan
tersebut menyangkut cara pandang, sikap inklusif dan perantara yang
selama ini terabaikan.
Pertama, cara
pandang yang selama ini lebih berorientasi pada hasil melalui
justifikasi pada klaim-klaim tertentu sehingga menutup ruang dialog,
sudah saatnya diubah dengan memperhatikan proses yang berkembang di
dalamnya. Dengan proses maka akan terbuka peluang mendiskusikan
kembali persoalan yang muncul, sehingga diharapkan akan meminimalisir
terjadinya konflik antar umat.
Kedua, warga
Muhammadiyah perlu mengedepankan sikap moderat dan inklusif, yaitu
berupaya melihat persoalan secara seimbang dengan mengambil sisi
manfaat dan memahami sisi mudharatnya untuk kemudian mengedepankan
penyelesaian dengan nalar yang sehat tanpa sikap curiga apalagi
menghakimi.
Ketiga, apa yang
disebut sebagai perantara dalam berdakwah adalah perangkat sosial
yang meliputi norma, cara pandang, adat istiadat dan sebagainya.
Sehingga untuk menghindari image bahwa Islam adalah anti-realitas dan
tidak membumi, maka yang perlu dilakukan adalah pengenalan yang
mendalam terhadap kondisi sosio-kultural sebuah daerah, memahami
kondisi psikologis masyarakat, dan selanjutnya memetakan
langkah-langkah strategis termasuk metode penyampainnya. Dengan
perubahan gerakan ini, Muhammadiyah diharapkan dapat lebih leluasa
mengembangkan sayap dakwahnya secara lebih progresif dan dinamis
sehingga mampu menjawab tantangan dan dampak globalisasi yang semakin
kuat.
Alasan
kenapa Muhammadiyah harus kembali kedakwah kutural, antara lain
b. Semakin berubahnya tatanan strategi dakwah tradisonal.
c. Semakin merebaknya permasalahan sosial-kultural dimasyarakat.
d. Semakin mencuatnya dan leluasanya penyimpangan dakwah.
e. Ketidak tegasan pemerintah terhadap lahirnya aliran-aliran sesat di
Indonesia.
f. Semakin kuatnya kristenisasi dengan kedok budaya.
g. Semakin kurang kristolog-kristolog muda Muhammadiyah
C. Dakwah berbasis budaya lokal, dakwah alternatif untuk membumikan ajaran
Islam
1. Interaksi Islam dengan budaya lokal
2. Simbol Budaya dan Nilai Agama
A. Kesimpulan
Sebagai sebuah
kenyatan sejarah, kata Kuntowijioyo, agama dan kebudayaan dapat
saling mempengaruhi karena keduanya terdapat nilai dan simbol. Agama
adalah simbol yang melambangkan nilai ketaatan kepada
Tuhan. Kebudayaan juga mengandung nilai dan simbol supaya manusia
bisa hidup di dalamnya. Agama memerlukan sistem simbol, dengan kata
lain agama memerlukan kebudayaan agama. Tetapi keduanya perlu
dibedakan. Agama adalah sesuatu yang final, universal, abadi
(parennial) dan tidak mengenal perubahan (absolut). Sedangkan
kebudayaan bersifat partikular, relatif dan temporer. Agama tanpa
kebudayaan memang dapat bekembang sebagai agama pribadi, tetapi tanpa
kebudayaan agama sebagai kolektivitas tidak akan mendapat tempat.
Islam yang hadir di
Indonesia juga tidak bisa dilepaskan dengan tradisi atau budaya
Indonesia. Sama seperti Islam di Arab saudi, Arabisme dan Islamisme
bersama-sama
menjadi
sedemikian rupa di kawasan Timur Tengah sehingga kadang-kadang orang
sulit membedakan mana yang nilai Islam dan mana yang simbol budaya
Arab. Nabi Muhammad saw, tentu saja dengan bimbingan Allah (mawa
yanthiqu ‘anil hawa, in hua illa wahyu yuha), dengan cukup cerdik
(fathanah) mengetahui sosiologi masyarakat Arab pada saat itu.
Sehingga beliau dengan serta merta menggunakan tradisi-tradisi Arab
untuk mengembangkan Islam. Sebagai salah satu contoh misalnya, ketika
Nabi Saw hijrah ke Madinah, masyarakat Madinah di sana menyambut
dengan iringan gendang dan tetabuhan sambil menyanyikan
thala’al-badru alaina dan seterusnya.
Berbeda dengan
agama-agama lain, Islam masuk Indonesia dengan cara begitu elastis.
Baik itu yang berhubungan dengan pengenalan simbol-simbol Islami
(misalnya bentuk bangunan peribadatan) atau ritus-ritus keagamaan
(untuk memahami nilai-nilai Islam).
Dapat kita lihat,
masjid-masjid pertama yang dibangun di sini bentuknya menyerupai
arsitektur lokal-warisan dari Hindu. Sehingga jelas Islam lebih
toleran terhadap warna/corak budaya lokal. Tidak seperti, misalnya
Budha yang masuk “membawa stupa”, atau bangunan gereja Kristen
yang arsitekturnya ala Barat. Dengan demikian, Islam tidak
memindahkan simbol-simbol budaya yang ada di Timur Tengah (Arab),
tempat lahirnya agama Islam.
Demikian pula untuk
memahami nilai-nilai Islam. Para pendakwah Islam kita dulu, memang
lebih luwes dan halus dalam menyampaikan ajaran Islam kepada
masyarakat yang heterogen setting nilai budayanya. Mungkin kita masih
ingat para wali –yang di Jawa dikenal dengan sebutan Wali Songo.
Mereka dapat dengan mudah memasukkan Islam karena agama tersebut
tidak dibawanya dalam bungkus Arab, melainkan dalam racikan dan
kemasan bercita rasa Jawa. Artinya, masyarakat diberi “bingkisan”
yang dibungkus budaya Jawa tetapi isinya Islam.
Sunan Kalijaga
misalnya, ia banyak menciptakan kidung-kidung Jawa bernafaskan Islam,
misalnya Ilir-ilir, tandure wis semilir. Perimbangannya jelas
menyangkut keefektifan memasukkan nilai-nilai Islam dengan harapan
mendapat ruang gerak dakwah yang lebih memadai. Meminjam pendapat
Muhammad
Sobary (1994: 32) dakwah Islam di Jawa masa lalu memang lebih banyak
ditekankan pada aspek esoteriknya, karena orang Jawa punya
kecenderungan memasukkan hal-hal ke dalam hati. Selalu
dengan urusan
hati. Dan banyak hal dianggap sebagai upaya penghalusan rasa dan
budi. Islam di masa lalu cenderung sufistik sifatnya.
Akan tetapi
kaitannya
dengan ketegangan kreatif antara dakwah Islam dengan budaya lokal,
Amin Abdullah dalam sebuah tulisan di Suara Muhammadiyah mengingatkan
para pelaku dakwah sekarang ini (muballigh/da’i) untuk pandai
memilah-milah mana yang substansi agama dan mana yang hanya sekadar
budaya lokal. Metode dakwah al-Qur’an yang sangat menekankan
“hik-mah dan mau’idzah hasanah” adalah tegas-tegas menekankan
pentingnya “dialog intelektual”, “dialog budaya”, “dialog
sosial” yang sejuk dan ramah terhadap kultur dan struktur budaya
setempat. Hal demkian menuntut ‘kesabaran’ yang prima serta
membutuhkan waktu yang cukup lama, karena dakwah bertujuan
untuk merubah
kebiasaan cara berfikir (habits of mind) masyarakat
kea rah yang lebih baik.
Wujud dakwah dalam
Islam yang demikian tentunya tidak lepas dari latar belakang
kebudayaan itu sendiri. Untuk mengetahui latar belakang budaya, kita
memerlukan sebuah teori budaya. Menurut Kuntowijoyo dalam magnum
opusnya Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi, sebuah teori budaya
akan memberikan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan berikut: Pertama,
apa struktur dari budaya. Kedua, atas dasar apa struktur itu
dibangun. Ketiga, bagaimana struktur itu mengalami perubahan.
Keempat, bagaimana menerangkan variasi dalam budaya.
Persoalan pertama
dan kedua, akan memberikan penjelasan mengenai hubungan antar simbol
dan mendasarinya. Paradigma positivisme –pandangan Marx di
antaranya– melihat hubungan keduanya sebagai hubungan atas bawah
yang ditentukan oleh kekuatan ekonomi, yakni modus produksi.
Berbeda dengan
pandangan Weber yang dalam metodologinya menggunakan verstehen atau
menyatu rasa. Dari sini dapat dipahami makna subyektif dari
perbuatan-perbuatan berdasarkan sudut pandang pelakunya. Realitas
ialah realitas untuk pelakunya, bukan pengamat. Hubungan kausal
–fungsional dalam ilmu empiris-positif– digantikan hubungan makna
dalam memahami budaya. Sehingga dalam budaya tak akan ditemui usaha
merumuskan hukum-hukum (nomotetik), tapi hanya akan melukiskan gejala
(ideografik).
Dengan demikian,
mengikuti premis Weber di atas, dalam simbol-simbol budaya yang
seharusnya dipahami atau ditangkap esensinya adalah makna yang
tersirat. Dari sini lalu dapat dikatakan bahwa dalam satu makna
(esensi), simbol boleh berbeda otoritas asal makna masih sama.
Mau belanja? klik boods.id saja!
Demikian pula dengan
ritus-ritus semacam ruwahan, nyadran, sekaten maupun tahlilan. Semua
pada level penampakannya (appearence) adalah simbo-simbol
pengungkapan atas nilai-nilai yang diyakini sehingga dapat
mengungkapkan makna ’subyektif’ (kata ini mesti diartikan
sejauhmana tingkat religiusitas pemeluknya) dari pelakunya. Tindakan
seperti ini ada yang menyebut sebagai syahadat yang tidak
diungkapkan, tetapi dijalankan dalam dimensi transeden dan imanen.
Dengan kata lain
high tradition yang berupa nilai-nilai yang sifatnya abstrak, jika
ingin ditampakkan, perlu dikongkretkan dalam bentuk low tradition
yang niscaya merupakan hasil pergumulan dengan tradisi yang ada.
Dalam tradisi tahlilan misalnya, high tradition yang diusung adalah
taqarrub ilallah, dan itu diapresiasikan dalam sebuah bentuk dzikir
kolektif yang dalam tahlilan kentara sekali warna tradisi
jawaismenya. Lalu muncul simbol kebudayan bernama tahlilan yang
didalamnya melekat nilai ajaran Islam. Dan Kuntowijiyo
merekomendasikan kepada umat Islam untuk berkreasi lebih banyak dalam
hal demikian, karena akan lebih mendorong gairah masyarakat banyak
menikmati agamanya.
Hanya saja yanag
perlu dikoreksi adalah bahwa simbol-simbol (pengungkapan) tadi pada
dasarnya adalah kata benda. Sedangkan menurut logika berpikir, kata
benda atau simbol-simbol tadi yang sering diperdebatkan untuk
kemungkinan disalahkan atau dibenarkan. Perdebatan simbol itu akan
menggiring kita untuk kemudian memitoskan sesuatu.
Dengan kata lain,
yang bisa dibenarkan atau disalahkan adalah pernyataan yang menyertai
(kata benda tadi). Pendek kata, nyadran yang bagaimana? Ruwahan yang
bagaimana? Sebab ritus-ritus tersebut, sebagai suatu simbol
(pengungkapan) dapat direkayasa oleh pernyataan-pernyataan yang
menyertainya. Nah, kita dapat menilainya (benar atau salah) dari
pernyataan itu, bukan simbolnya. Memang itu tugas besar bagi pemikir
maupun tokoh-tokoh Islam kita sekarang. Orang zaman dahulu
menciptakan simbol agar perasaan kita tajam. Namun apa yang terjadi
sekarang? Karena pengaruh pemikiran Barat (baca: positivisme) kita
menangkap semua itu dengan visi dan paradigma positivisme. Sehingga
makna yang tersembul dalam ritus-ritus itu dipahami dengan kacamata
fiqih ansich. Artinya, simbol-simbol budaya yang hanya menjelaskan
gejala, sering dihakimi supaya dapat menentukan hukum-hukum halal
haram. Jadi sedikit banyak jelas kurang tumbuh.
Mau belanja? klik boods.id saja!
Konsistensi
Muhammadiyah dalam bidang Sosial Budaya, harus dijaga dan diperkuat
dengan prinsip pemurnian budaya Islam dari pengaruh TBC dan
kemusyrikan, nilai hedonistik, dan syahwat duniawi. Penguatan
konsistensi dan visi sosial budaya yang bertumpu pada prinsip
purifikasi, tidak mesti dimaknai sebagai pengembangan budaya
monolitik dan anti perbedaan. Perbedaan (al-ikhtilafat wal
khilafiyat) dan kemajemukan-keragaman (al-tanawwi’iyyat) adalah
realitas yang mesti diterima oleh siapapun sebagai bagian dari
sunatullah. Segala potensi budaya baik budaya lokal maupun budaya
global, selama sejalan dan tidak bertentangan dengan prinsip ajaran
Islam (al-ma’rufaat), pasti diterima, bahkan dikukuhkan sebagai
khazanah budaya Islam. Sebaliknya potensi budaya yang bertentangan
bahkan merusak prinsip ajaran Islam (al-munkarat), tidak ada jalan
lain, kecuali membersihkannya. Ini sejalan prinsip yang terdapat
dalam kalimat
syahadat yang diucapkan oleh setiap muslim dan orang yang akan
memeluk Islam.
Posting Komentar untuk "Tantangan Muhammadiyah dalam Bidang Sosial Budaya"
Silakan berkomentar dengan bijak, tidak mengandung ujaran kebencian, kalimat tidak pantas ataupun pornografi.