Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Wisata Alam Posong, Semua Gunung Terlihat dalam Satu Frame
Kartu by.U, kartu digital pertama Indonesia
Xiaomi Redmi Cepat rusak?
Tips diet mudah, turun 8kg 2 bulan!
Cara mengembalikan foto yang terhapus

Tantangan Muhammadiyah dalam Bidang Sosial Budaya



Tantangan Muhammadiyah dalam Bidang Sosial Budaya



BOODS.ID - Muhammadiyah sebagai organisasi islam yang bergerak dalam bidang dakwah islam dari zaman berdirinya K.H Ahmad Dahlan, Sampai sekarang ini banyak memiliki kendala dalam beberapa hal. Ini diakibatkan dengan beberapa dasar muhammadiyah yang ingin memurnikan agama bedasarkan as-sunnah dan al- quran. Salah satunya tantangan yang di hadapi adalah dalam bidang sosial dan budaya.Sisi kehidupan dari masyarakat indonesia mendorong timbulnya multikulturalisme yang bisa berdampak pada tantangan besar dalam bidang sosial budaya muhammadiyah.

Derasnya paham multikulturalisme dan pluralisme di dalam tubuh Muhammadiyah ditandai dengan kritik tajam yang dilontarkan oleh kalangan internal Muhammadiyah atas konsep pemurnian agama (purifikasi). Bahkan kritik itu telah berubah menjadi hujatan bahwa gerakan purifikasi dalam Muhammadiyah telah mengganti potensi kultur lokal, tanpa memahami persoalan dan konteks budaya lokal tersebut jika dikaitkan dengan aqidah, akhlak dari muamalah Islam. Akibat lanjut dari kegamangan ini adalah kecenderungan warga dan pimpinan Muhammadiyah yang permitif terhadap berbagai budaya lokal dan global, tanpa memperdulikan aspek-aspek munkarat yang terjadi.

Konsistensi Muhammadiyah dalam bidang Sosial Budaya, harus dijaga dan diperkuat dengan prinsip pemurnian budaya Islam dari pengaruh TBC dan kemusyrikan, nilai hedonistik, dan syahwat duniawi. Penguatan konsistensi dan visi sosial budaya yang bertumpu pada prinsip purifikasi, tidak mesti dimaknai sebagai pengembangan budaya monolitik dan anti perbedaan. Perbedaan (al-ikhtilafat wal khilafiyat) dan kemajemukan-keragaman (al-tanawwi’iyyat) adalah realitas yang mesti diterima oleh siapapun sebagai bagian dari sunatullah. Segala potensi budaya baik budaya lokal maupun budaya global, selama sejalan dan tidak bertentangan dengan prinsip ajaran Islam (al-ma’rufaat), pasti diterima, bahkan dikukuhkan sebagai khazanah budaya Islam. Sebaliknya potensi budaya yang bertentangan bahkan merusak prinsip ajaran Islam (al-munkarat), tidak ada jalan lain, kecuali membersihkannya. Ini sejalan dengan prinsip yang terdapat dalam kalimah syahadat yang diucapkan oleh setiap muslim dan orang yang akan memeluk Islam. Mau belanja? klik boods.id saja!

Berdasarkan latar belakang diatas maka dapat kita gambaran dan pandangan akan hadirnya sebuah kebenaran dalam pemaknaan islam berdasar as-sunah dan al-quran seperti berikut ini:

1. Bagaimana tantangan yang dihadapi Muhammadiyah dalam bidang sosial budaya?
2. Bagaimana cara dakwah Muhammadiyah dengan cara kultural?
3. Bagaimana Dakwah berbasis budaya lokal, dakwah alternatif untuk membumikan ajaran islam?




Pembahasan

A. Tantangan yang dihadapi Muhammadiyah dalam bidang sosial budaya
Muhammadiyah sebagai gerakan Dakwah Islam yang memiliki komitmen untuk pemurnian dan menjaga kemurnian ajaran Islam, Muhammadiyah memahami bahwa kebudayaan adalah pemikiran, karya dan penghayatan hidup yang merupakan refleksi umat Islam atas ajaran agamanya, yang bersumber pada otentisitas ajaran Islam.
Dengan pandangan itu, Muhammadiyah memandang bahwa adanya pluralitas budaya (multikulturalitas) adalah sesuatu kenyataan yang mesti diterima. Namun, tidak berimplikasi kepada paham pluralisme dan multikulturalisme, yang memandang semua agama dan semua budaya manusia adalah benar dan baik umat manusia. Muhammadiyah, sebagaimana statemen al-Quran memandang bahwa dalam pluralitas budaya atau multikulturalitas terhadap kategori budaya ma'rufat (segala budaya yang baik, yang sesuai dengan nilai-nilai Islam) dan budaya munkarat (segala sesuatu yang jelek, batil dan jahat bagi kehidupan manusia dan tidak sesuai dengan syariat Islam.
Derasnya paham multikulturalisme dan pluralisme di dalam tubuh Muhammadiyah ditandai dengan kritik tajam yang dilontarkan oleh kalangan internal Muhammadiyah atas konsep pemurnian agama (purifikasi). Bahkan kritik itu telah berubah menjadi hujatan bahwa gerakan purifikasi dalam Muhammadiyah telah menggusur potensi kultur lokal, tanpa memahami persoalan dan konteks budaya lokal tersebut jika dikaitkan dengan aqidah, akhlak dan muamalah Islam. Akibat lanjut dari kegamangan ini adalah kecenderungan warga dan pimpinan Muhammadiyah yang permisif terhadap berbagai budaya lokal dan global, tanpa memperdulikan aspek-aspek munkarat yang terjadi.
Konsistensi Muhammadiyah dalam bidang Sosial Budaya, harus dijaga dan diperkuat dengan prinsip pemurnian budaya Islam dari pengaruh TBC dan kemusyrikan, nilai hedonistik, dan syahwat duniawi. Penguatan konsistensi dan visi sosial budaya yang bertumpu pada prinsip purifikasi, tidak mesti dimaknai sebagai pengembangan budaya monolitik dan anti perbedaan. Perbedaan (al-ikhtilafat wal khilafiyat) dan kemajemukan-keragaman (al-tanawwi’iyyat) adalah realitas yang mesti diterima oleh siapapun sebagai bagian dari sunatullah. Segala potensi budaya baik budaya lokal maupun budaya global, selama sejalan dan tidak bertentangan dengan prinsip ajaran Islam (al-ma’rufaat), pasti diterima, bahkan dikukuhkan sebagai khazanah budaya Islam. Sebaliknya potensi budaya yang bertentangan bahkan merusak prinsip ajaran Islam (al-munkarat), tidak ada jalan lain, kecuali membersihkannya. Ini sejalan prinsip yang terdapat dalam kalimat syahadat yang diucapkan oleh setiap muslim dan orang yang akan memeluk Islam.
Terdapat dua prinsip yang tegak dengan kokoh dalam kalimah syahadat. Pertama, prinsip al-nafyu wa al-itsbat (negasi dan afirmasi). Negasi, penolakan terhadap budaya munkarat dan afirmasi, penegasan untuk budaya ma’rufat. Kedua, ittiba’ wa mutaba'atur rasul, yakni mengikuti jejak langkah Rasulullah dalam beragama dan berbudaya. Dengan prinsip itu, Muhammadiyah akan memiliki daya selektifitas dan daya kreatif untuk menghasilkan kreasi baru dalam melahirkan kebudayaan alternatif yang tetap mempertautkan antara otentisitas dan orisinalitas ajaran Islam dengan perkembangan jaman yang selalu berubah.

Mau belanja? klik boods.id saja!


B. Dakwah Kultural
Sejak tahun 2002 Muhammadiyah kemudian menggagas strategi baru dakwah yang lebih toleran dan kontekstual yang dikenal dengan istilah Dakwah Kultural. Latar belakang gagasan ini adalah bahwa dinamika sosial-budaya dan perkembangan peradaban yang semakin kompleks sehingga diperlukan piranti ikhtiar atau kreativitas dari masyarakat. Sejalan dengan tuntutan strategi kebudayaan dan perubahan sosial, konsep dakwah kultural memuat aplikasi dakwah dalam konteks lokal, ancaman budaya global, apresiasi seni, tantangan multimedia, dan gerakan jama'ah dan dakwah jama'ah.
Berbeda dengan dakwah politik, maka dakwah kultural dalam melakukan transformasi kehidupan umat Islam tidak menempuh jalur politik (praktis), melainkan melalui revitalisasi kultural, yakni lebih menekankan tampilnya Islam sebagai sumber etik dan moral serta landasan kultural dalam kehidupan berbangsa. Maka pada domain ini, dakwah kultural dipahami sebagai upaya menanamkan nilai-nilai Islam dalam seluruh dimensi kehidupan dengan memperhatikan potensi dan kecenderungan manusia sebagai makhluk budaya secara luas, sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Melalui dakwah kultural, Muhammadiyah berupaya menghadirkan wajah Islam yang santun dan bijaksana terhadap budaya lokal. Sebagai sebuah pendekatan, maka dakwah kultural berupaya memahami keberislaman umat dalam konteks sosio-antropologis. Sementara sebagai metode, maka dakwah kultural memanfaatkan kultur lokal sebagai media dakwah.
Dengan demikian dakwah kultural tidak bermaksud merusak ajaran Islam melalui persentuhan dengan budaya lokal, namun hanya sebatas medium untuk menjembatani puritanisme Islam dengan tradisi keagamaan turun temurun masyarakat Islam. walaupun dakwah kultural menggunakan medium lokalitas, namun Muhammadiyah tetap berpegang pada prinsip purifikasi sebagai orientasi keagamaannya. Hanya saja dibutuhkan perubahan metodologi agar praktek dakwah menjadi lebih apresiatif dan bersahabat dengan tradisi yang ada. Menurut Mu'arif perubahan tersebut menyangkut cara pandang, sikap inklusif dan perantara yang selama ini terabaikan.
Pertama, cara pandang yang selama ini lebih berorientasi pada hasil melalui justifikasi pada klaim-klaim tertentu sehingga menutup ruang dialog, sudah saatnya diubah dengan memperhatikan proses yang berkembang di dalamnya. Dengan proses maka akan terbuka peluang mendiskusikan kembali persoalan yang muncul, sehingga diharapkan akan meminimalisir terjadinya konflik antar umat.
Kedua, warga Muhammadiyah perlu mengedepankan sikap moderat dan inklusif, yaitu berupaya melihat persoalan secara seimbang dengan mengambil sisi manfaat dan memahami sisi mudharatnya untuk kemudian mengedepankan penyelesaian dengan nalar yang sehat tanpa sikap curiga apalagi menghakimi.
Ketiga, apa yang disebut sebagai perantara dalam berdakwah adalah perangkat sosial yang meliputi norma, cara pandang, adat istiadat dan sebagainya. Sehingga untuk menghindari image bahwa Islam adalah anti-realitas dan tidak membumi, maka yang perlu dilakukan adalah pengenalan yang mendalam terhadap kondisi sosio-kultural sebuah daerah, memahami kondisi psikologis masyarakat, dan selanjutnya memetakan langkah-langkah strategis termasuk metode penyampainnya. Dengan perubahan gerakan ini, Muhammadiyah diharapkan dapat lebih leluasa mengembangkan sayap dakwahnya secara lebih progresif dan dinamis sehingga mampu menjawab tantangan dan dampak globalisasi yang semakin kuat.
Alasan kenapa Muhammadiyah harus kembali kedakwah kutural, antara lain

a. Betapa kuatnya cultural masyarakat kita sehingga sampai sekarang belum terlihat dakwah kita dimasyarakat.
b. Semakin berubahnya tatanan strategi dakwah tradisonal.
c. Semakin merebaknya permasalahan sosial-kultural dimasyarakat.
d. Semakin mencuatnya dan leluasanya penyimpangan dakwah.
e. Ketidak tegasan pemerintah terhadap lahirnya aliran-aliran sesat di Indonesia.
f. Semakin kuatnya kristenisasi dengan kedok budaya.
g. Semakin kurang kristolog-kristolog muda Muhammadiyah



C. Dakwah berbasis budaya lokal, dakwah alternatif untuk membumikan ajaran Islam
Sebagai sebuah kenyatan sejarah, kata Kuntowijioyo, agama dan kebudayaan dapat saling mempengaruhi karena keduanya terdapat nilai dan simbol. Agama adalah simbol yang melambangkan nilai ketaatan kepada Tuhan. Kebudayaan juga mengandung nilai dan simbol supaya manusia bisa hidup di dalamnya. Agama memerlukan sistem simbol, dengan kata lain agama memerlukan kebudayaan agama. Tetapi keduanya perlu dibedakan. Agama adalah sesuatu yang final, universal, abadi (parennial) dan tidak mengenal perubahan (absolut). Sedangkan kebudayaan bersifat partikular, relatif dan temporer. Agama tanpa kebudayaan memang dapat bekembang sebagai agama pribadi, tetapi tanpa kebudayaan agama sebagai kolektivitas tidak akan mendapat tempat.
Islam yang hadir di Indonesia juga tidak bisa dilepaskan dengan tradisi atau budaya Indonesia. Sama seperti Islam di Arab saudi, Arabisme dan Islamisme bersama-sama menjadi sedemikian rupa di kawasan Timur Tengah sehingga kadang-kadang orang sulit membedakan mana yang nilai Islam dan mana yang simbol budaya Arab. Nabi Muhammad saw, tentu saja dengan bimbingan Allah (mawa yanthiqu ‘anil hawa, in hua illa wahyu yuha), dengan cukup cerdik (fathanah) mengetahui sosiologi masyarakat Arab pada saat itu. Sehingga beliau dengan serta merta menggunakan tradisi-tradisi Arab untuk mengembangkan Islam. Sebagai salah satu contoh misalnya, ketika Nabi Saw hijrah ke Madinah, masyarakat Madinah di sana menyambut dengan iringan gendang dan tetabuhan sambil menyanyikan thala’al-badru alaina dan seterusnya.


1. Interaksi Islam dengan budaya lokal

Berbeda dengan agama-agama lain, Islam masuk Indonesia dengan cara begitu elastis. Baik itu yang berhubungan dengan pengenalan simbol-simbol Islami (misalnya bentuk bangunan peribadatan) atau ritus-ritus keagamaan (untuk memahami nilai-nilai Islam).
Dapat kita lihat, masjid-masjid pertama yang dibangun di sini bentuknya menyerupai arsitektur lokal-warisan dari Hindu. Sehingga jelas Islam lebih toleran terhadap warna/corak budaya lokal. Tidak seperti, misalnya Budha yang masuk “membawa stupa”, atau bangunan gereja Kristen yang arsitekturnya ala Barat. Dengan demikian, Islam tidak memindahkan simbol-simbol budaya yang ada di Timur Tengah (Arab), tempat lahirnya agama Islam.
Demikian pula untuk memahami nilai-nilai Islam. Para pendakwah Islam kita dulu, memang lebih luwes dan halus dalam menyampaikan ajaran Islam kepada masyarakat yang heterogen setting nilai budayanya. Mungkin kita masih ingat para wali –yang di Jawa dikenal dengan sebutan Wali Songo. Mereka dapat dengan mudah memasukkan Islam karena agama tersebut tidak dibawanya dalam bungkus Arab, melainkan dalam racikan dan kemasan bercita rasa Jawa. Artinya, masyarakat diberi “bingkisan” yang dibungkus budaya Jawa tetapi isinya Islam.
Sunan Kalijaga misalnya, ia banyak menciptakan kidung-kidung Jawa bernafaskan Islam, misalnya Ilir-ilir, tandure wis semilir. Perimbangannya jelas menyangkut keefektifan memasukkan nilai-nilai Islam dengan harapan mendapat ruang gerak dakwah yang lebih memadai. Meminjam pendapat Muhammad Sobary (1994: 32) dakwah Islam di Jawa masa lalu memang lebih banyak ditekankan pada aspek esoteriknya, karena orang Jawa punya kecenderungan memasukkan hal-hal ke dalam hati. Selalu dengan urusan hati. Dan banyak hal dianggap sebagai upaya penghalusan rasa dan budi. Islam di masa lalu cenderung sufistik sifatnya.
Akan tetapi kaitannya dengan ketegangan kreatif antara dakwah Islam dengan budaya lokal, Amin Abdullah dalam sebuah tulisan di Suara Muhammadiyah mengingatkan para pelaku dakwah sekarang ini (muballigh/da’i) untuk pandai memilah-milah mana yang substansi agama dan mana yang hanya sekadar budaya lokal. Metode dakwah al-Qur’an yang sangat menekankan “hik-mah dan mau’idzah hasanah” adalah tegas-tegas menekankan pentingnya “dialog intelektual”, “dialog budaya”, “dialog sosial” yang sejuk dan ramah terhadap kultur dan struktur budaya setempat. Hal demkian menuntut ‘kesabaran’ yang prima serta membutuhkan waktu yang cukup lama, karena dakwah bertujuan untuk merubah kebiasaan cara berfikir (habits of mind) masyarakat kea rah yang lebih baik.
Wujud dakwah dalam Islam yang demikian tentunya tidak lepas dari latar belakang kebudayaan itu sendiri. Untuk mengetahui latar belakang budaya, kita memerlukan sebuah teori budaya. Menurut Kuntowijoyo dalam magnum opusnya Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi, sebuah teori budaya akan memberikan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan berikut: Pertama, apa struktur dari budaya. Kedua, atas dasar apa struktur itu dibangun. Ketiga, bagaimana struktur itu mengalami perubahan. Keempat, bagaimana menerangkan variasi dalam budaya.
Persoalan pertama dan kedua, akan memberikan penjelasan mengenai hubungan antar simbol dan mendasarinya. Paradigma positivisme –pandangan Marx di antaranya– melihat hubungan keduanya sebagai hubungan atas bawah yang ditentukan oleh kekuatan ekonomi, yakni modus produksi.
Berbeda dengan pandangan Weber yang dalam metodologinya menggunakan verstehen atau menyatu rasa. Dari sini dapat dipahami makna subyektif dari perbuatan-perbuatan berdasarkan sudut pandang pelakunya. Realitas ialah realitas untuk pelakunya, bukan pengamat. Hubungan kausal –fungsional dalam ilmu empiris-positif– digantikan hubungan makna dalam memahami budaya. Sehingga dalam budaya tak akan ditemui usaha merumuskan hukum-hukum (nomotetik), tapi hanya akan melukiskan gejala (ideografik).
Dengan demikian, mengikuti premis Weber di atas, dalam simbol-simbol budaya yang seharusnya dipahami atau ditangkap esensinya adalah makna yang tersirat. Dari sini lalu dapat dikatakan bahwa dalam satu makna (esensi), simbol boleh berbeda otoritas asal makna masih sama.

Mau belanja? klik boods.id saja!

2. Simbol Budaya dan Nilai Agama
Demikian pula dengan ritus-ritus semacam ruwahan, nyadran, sekaten maupun tahlilan. Semua pada level penampakannya (appearence) adalah simbo-simbol pengungkapan atas nilai-nilai yang diyakini sehingga dapat mengungkapkan makna ’subyektif’ (kata ini mesti diartikan sejauhmana tingkat religiusitas pemeluknya) dari pelakunya. Tindakan seperti ini ada yang menyebut sebagai syahadat yang tidak diungkapkan, tetapi dijalankan dalam dimensi transeden dan imanen.
Dengan kata lain high tradition yang berupa nilai-nilai yang sifatnya abstrak, jika ingin ditampakkan, perlu dikongkretkan dalam bentuk low tradition yang niscaya merupakan hasil pergumulan dengan tradisi yang ada. Dalam tradisi tahlilan misalnya, high tradition yang diusung adalah taqarrub ilallah, dan itu diapresiasikan dalam sebuah bentuk dzikir kolektif yang dalam tahlilan kentara sekali warna tradisi jawaismenya. Lalu muncul simbol kebudayan bernama tahlilan yang didalamnya melekat nilai ajaran Islam. Dan Kuntowijiyo merekomendasikan kepada umat Islam untuk berkreasi lebih banyak dalam hal demikian, karena akan lebih mendorong gairah masyarakat banyak menikmati agamanya.
Hanya saja yanag perlu dikoreksi adalah bahwa simbol-simbol (pengungkapan) tadi pada dasarnya adalah kata benda. Sedangkan menurut logika berpikir, kata benda atau simbol-simbol tadi yang sering diperdebatkan untuk kemungkinan disalahkan atau dibenarkan. Perdebatan simbol itu akan menggiring kita untuk kemudian memitoskan sesuatu.
Dengan kata lain, yang bisa dibenarkan atau disalahkan adalah pernyataan yang menyertai (kata benda tadi). Pendek kata, nyadran yang bagaimana? Ruwahan yang bagaimana? Sebab ritus-ritus tersebut, sebagai suatu simbol (pengungkapan) dapat direkayasa oleh pernyataan-pernyataan yang menyertainya. Nah, kita dapat menilainya (benar atau salah) dari pernyataan itu, bukan simbolnya. Memang itu tugas besar bagi pemikir maupun tokoh-tokoh Islam kita sekarang. Orang zaman dahulu menciptakan simbol agar perasaan kita tajam. Namun apa yang terjadi sekarang? Karena pengaruh pemikiran Barat (baca: positivisme) kita menangkap semua itu dengan visi dan paradigma positivisme. Sehingga makna yang tersembul dalam ritus-ritus itu dipahami dengan kacamata fiqih ansich. Artinya, simbol-simbol budaya yang hanya menjelaskan gejala, sering dihakimi supaya dapat menentukan hukum-hukum halal haram. Jadi sedikit banyak jelas kurang tumbuh.


Mau belanja? klik boods.id saja!


A. Kesimpulan
Konsistensi Muhammadiyah dalam bidang Sosial Budaya, harus dijaga dan diperkuat dengan prinsip pemurnian budaya Islam dari pengaruh TBC dan kemusyrikan, nilai hedonistik, dan syahwat duniawi. Penguatan konsistensi dan visi sosial budaya yang bertumpu pada prinsip purifikasi, tidak mesti dimaknai sebagai pengembangan budaya monolitik dan anti perbedaan. Perbedaan (al-ikhtilafat wal khilafiyat) dan kemajemukan-keragaman (al-tanawwi’iyyat) adalah realitas yang mesti diterima oleh siapapun sebagai bagian dari sunatullah. Segala potensi budaya baik budaya lokal maupun budaya global, selama sejalan dan tidak bertentangan dengan prinsip ajaran Islam (al-ma’rufaat), pasti diterima, bahkan dikukuhkan sebagai khazanah budaya Islam. Sebaliknya potensi budaya yang bertentangan bahkan merusak prinsip ajaran Islam (al-munkarat), tidak ada jalan lain, kecuali membersihkannya. Ini sejalan prinsip yang terdapat dalam kalimat syahadat yang diucapkan oleh setiap muslim dan orang yang akan memeluk Islam.

Posting Komentar untuk "Tantangan Muhammadiyah dalam Bidang Sosial Budaya"